Saturday 2 May 2020

Arie Hanggara, Sejarah Kelam Hubungan Orang Tua dan Anak di Indonesia

Arie Hanggara, Sejarah Kelam Hubungan Orang Tua dan Anak di Indonesia
Arie Hanggara
Arie Hanggara, Sejarah Kelam Hubungan Orang Tua dan Anak di Indonesia - Sebelumnya pernah sekilas mendengar cerita tentang bocah malang ini, ia bernama Arie Hanggara. Tidak sengaja semalam menemukan di timeline Instagram, konten yang kembali membahas tentang Almarhum Arie Hanggara ini. Jadi sekalian untuk dokumentasi pribadi, sebagai pengingat dan untuk pelajaran diri sendiri tentunya.

Setiap anak yang terlahir ke dunia, berasal dari dua orang tua yang sudah diamanahkan oleh Sang Pencipta untuk merawatnya. Mereka memiliki hak mendapatkan kasih sayang, dimanjakan, diberikan segala kebutuhan hidupnya dan yang terpenting adalah cinta dalam sebuah keluarga. Namun sayang, ada beberapa orang tua yang salah dalam mendidik anak, bahkan mengedepankan kekerasan dalam mendidik seorang anak yang sejatinya belum paham mana benar dan salah.

Arie Hanggara, adalah satu diantara sekian banyak malaikat kecil di dunia yang ditakdirkan memiliki orang tua yang kejam.. Kisahnya mampu membuat tangis orang-orang pecah, pada masanya kasus ini disorot oleh berbagai pihak dan lembaga di Indonesia.

Arie Hanggara lahir di Bogor, pada tanggal 21 Desember 1977. Ia adalah anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Arie mempunyai 2 orang saudara kandung bernama Anggi dan Andi.

Keluarga Arie Hanggara mengalami konflik. Kedua orang tuanya bertengkar hebat sampai akhirnya memutuskan untuk berpisah. Pertengkaran ini diduga akibat faktor ekonomi. Ayah Arie, Machtino atau biasa dipanggil Tino adalah seorang pengangguran dan pemalas. Kebutuhan yang tidak terpenuhi membuat keduanya sering terlibat pertengkaran hingga akhirnya memutuskan berpisah. Tino kalau itu menitipkan ketiga anaknya ke rumah neneknya di daerah Depok.

Namun tak lama berselang, Tino kembali menjemput anak anaknya dan tinggal bersama pasangan barunya yg bernama Santi (belakangan diketahui keduanya belum menikah saat kejadian ini terjadi dan hanya tinggal satu atap). Tino, Shanti beserta ketiga anaknya tinggal di sebuah kontrakan di daerah Mampang, Jaksel. Santi saat itu bekerja kantoran sementara Tino masih pengangguran. Sadar kalau dirinya pengangguran, sehabis mengantar istri ke kantor, Tino melamar kerja ke berbagai tempat. Teman-teman juga mulai dihubungi, tapi semuanya tak ada yang memberi harapan. Kondisi ini membuat Santi mulai cerewet, ditambah anak-anak yang mulai "merepotkan" karena memang dalam masa aktif.

Merasa jengkel kepada anak anak tirinya, Santi sering mengadu pada Tino mengenai bagaimana merepotkan nya mereka dengan kebandelannya. Entah karena cinta atau apa, Tino saat itu terhasut dan mengambil tindakan kepada anak kandungnya sendiri, namun dari ketiga anaknya, penyiksaan untuk mendapatkan rasa jera itu hanya terfokus pada anak keduanya, Arie Hanggara.

Arie Hanggara saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SD Perguruan Cikini. Ia adalah seorang bocah periang, lincah, mudah bergaul dengan teman2nya, sering bercanda dan kadang usil kepada temannya. Gambaran kepribadian orang yang periang. Namun hal ini justru membuat kedua orang tuanya kesal dengan kelakuan Arie.

Penyiksaan terhadap Arie mulai sejak tanggal 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500 milik mereka yang hilang. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku.

Pukulan itu menimpa muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya. Tak sampai di situ, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri yang ditangkap petugas keamanan, Arie yang masih belia itu disuruh jongkok di kamar mandi.

“Ayo minta maaf dan mengaku!!!,” teriak Santi kepada anak tirinya itu.

Namun Arie yang masih polos itu merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya.. Ia hanya bisa menangis dan menuruti hukuman berjalan jongkok itu sambil terisak menahan sakit di sekujur badannya akibat tamparan ayah kandungnya sendiri.. Arie tidak berkata apapun, ia tidak mencuri uang itu.. Ia coba menjelaskan bahwa ia bukan pelakunya, tapi tamparan lah yang ia dapatkan hingga Arie hanya bisa diam dalam tangisnya.

Masih yakin Arie sebagai pelakunya, Tino dan Santi kemudian melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh Arie di kamar mandi. Santi kemudian meminta tambahan hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Arie mematuhinya dan melakukan apa yang dihukum kan padanya atas permintaan ibu tirinya itu. Orang yang seharusnya memberikannya kasih sayang menggantikan ibu kandungnya.

Arie kemudian jongkok, memegang kedua kupingnya sambil meringis menahan dingin dan perih.

Kekejaman Tino dan Santi terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh mencuri uang sebanyak 8.000 rupiah. Bocah yang mengaku tidak mencuri ini kembali dianiaya karena dianggap telah berbohong. Santi dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan.

Masih juga tak mengaku, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. “Menghadap tembok!!” teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi yg mendengar kegaduhan dari dalam kontrakan Tino malam itu. Namun Arie masih bertahan dengan kejujurannya. Ia bukanlah pencuri. Orang tuanya salah jika mengatakan ia mencuri. Arie kecil hanya bisa menangis ketakutan tanpa meminta maaf.

Kesal karena kata maaf tak kunjung terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas mangga dan sekali lagi mengancam Arie untuk meminta maaf. Namun, lagi-lagi Arie menutup mulut. Dengan penuh emosi, Santi menjambak dan menodongkan pisaunya ke muka Arie yang gemetar karena takut itu.

Setelah sang ibu tiri meninggalkannya, masuklah Toni yang datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. “Berdiri terus di situ,” perintah sang ayah kepada Arie. Arie diperintahkan berdiri di tempat ia dihukum.

Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB dini hari ketika Toni bangun dan menengok Arie. Ia mendapati Arie yang lemas itu sudah tidak berdiri lagi sesuai perintahnya. Arie yang malang itu duduk karena rasa sakit dan lemas serta kantuk yang ia rasakan.. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum oleh sang ayah sudah bergeser letaknya. Bukti bagi sang ayah bahwa Arie sudah melanggar perintahnya.

Namun bukannya rasa iba yang muncul di hati Toni melihat anak kandungnya kesakitan seperti itu. Ia justru makin naik pitam dan melakukan penyiksaan lebih parah lagi kepada Arie malam itu. Ia mengambil sapu dan memakai gagangnya untuk memukuli Arie sekuat tenaga. Arie hanya bisa menjerit setiap sapu itu menyabet tubuh kecilnya yang tidak mampu menghindar.

Belum cukup, Toni kemudian memegang kepala Arie dan membenturkannya ke tembok.

Sang ayah kembali beranjak ke kamar tidur. Pada pukul 03.00 WIB, Tino bangun dan kembali melihat anaknya, namun posisi Arie sama sekali tidak berpindah sejak terakhir ia tinggalkan. Dan ketika didekati, badan Arie dingin dan tidak ada lagi denyut nadinya.

Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984 Arie dinyatakan meninggal.

Keesokan harinya masyarakat gempar ketika media cetak memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama berminggu-minggu kemudian, kisah tragis ini menjadi berita utama di koran-koran. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban kekejaman orangtua dan stigma negatif kepada orang tua tiri mencuat. Para guru di sekolah Arie juga menjadi sangat iba kepada anak didiknya itu. Menurut mereka Arie yg ceria itu sering "berbohong" Dan menutupi luka di sekujur tubuhnya. Ia berkilah luka-luka itu adalah bekas ia jatuh.

Kisahnya kemudian diangkat menjadi film dengan judul yang sama dengan namanya. Film berdurasi 220 menit yang diangkat dari kisah Arie dan hasil olah reka ulang kejadian ini ditonton oleh setidaknya 380ribu orang dan menjadi film dgn penonton terbanyak di tahun 1985.

Arie Hanggara, Sejarah Kelam Hubungan Orang Tua dan Anak di Indonesia
Makam Arie Hanggara di TPU Jeruk Purut

Makam Arie Hanggara kini berada di TPU Jeruk Purut. Saat mengantarkan jasadnya dulu, tangis orang2 yg telah mendengar kabar penyiksaan terhadap Arie sebelum wafat saat itu pecah. Termasuk kedua orang tuanya yang terlihat sangat menyesali apa yang mereka lakukan. Di sisi kiri dan kanan makam Arie terdapat tulisan "Maafkan Mama" Dan "Maafkan Papa" Konon keduanya dipasang atas permintaan Tino dan Santi yang merasa bersalah kepada Arie. Walaupun kata maaf itu sudah terlambat mereka ucapkan. Tino kemudian dihukum 5 tahun penjara dan Santi 2 tahun penjara akibat penyiksaan yang berujung hilangnya nyawa Arie itu.

Arie Hanggara, Sejarah Kelam Hubungan Orang Tua dan Anak di Indonesia
Persidangan Orang Tua Arie Hanggara

Kabar yang beredar, Tino saat ini telah meninggal sedangkan Shanti tidak diketahui lagi keberadaanya. Selain itu makam Arie di TPU jeruk purut pun tidak terurus karena tidak ada lagi keluarga yang menziarahinya.

Agustini, mengaku nelangsa melihat kuburan itu. Perempuan 48 tahun itu sama sekali tak ada hubungan dengan almarhum. Tapi, ia ada di sana saat Arie dikebumikan 30 tahun lalu, saat TPU Jeruk Purut belum seramai dan serapi sekarang. Sebuah upacara penguburan yang mengharu biru, tangis banyak orang pecah ketika jasad kecil itu dimasukkan ke liang lahat.

“Aduh saya mah mau nangis aja kalau ingat lagi kisahnya. Sampai sekarang sudah meninggal juga kuburannya dibiarin aja begitu nggak diurus. Kasihan, hidupnya dianiaya sama orang tuanya, meninggalnya dilupain,” ujar pemelihara makam itu.

Semoga kisahnya dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Sebagaimana hakikatnya seorang anak adalah titipan dari Tuhan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari Orang tua, mendapatkan perlindungan, mendapatkan rasa aman dan nyaman di dalam lingkup keluarganya sendiri.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Arie Hanggara, Sejarah Kelam Hubungan Orang Tua dan Anak di Indonesia

0 comments:

Post a Comment